Jumat, 31 Mei 2013

KELIPING BAKTI SOSIAL (BAKSOS)

MAKALAH KEBIJAKAN MONETER

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter didefinisikan dengan rencana dan tindakan otoritas moneter yang terkoordinasi untuk menjaga keseimbangan moneter, dan kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Wikipedia memberikan definisi kebijakan moneter dengan sebuah proses yang dilakukan oleh pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter dari sebuah negara untuk mengontrol, penawaran uang, ketersediaan uang, tingkat bunga, dalam rangka mencapai seperangkat tujuan orientasi kepada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Dimana biasanya kebijakan moneter dikenal sebagai pilihan antara kebijakan ekspansi atau kebijakan kontraksi.
Jadi dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan bank sentral untuk mempengaruhi perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro, maka tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut merupakan tujuan/sasaran akhir kebijakan moneter (final target).

Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat dicapai secara bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang kontraktif untuk menekan laju inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja.

B.     Fungsi Kebijakan Moneter
Dari pengertian kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah (Bank Sentral) untuk menambah dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Sejak tahun 1945, kebijakan moneter hanya digunakan sebagai kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas ekonomi jangka pendek. Adapun kebijakan fiscal digunakan dalam pengendalian ekonomi jangka panjang. Namun pada saat ini kebijakan moneter merupakan kebijakan utama yang dipergunakan untuk pengendalian ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar, pemerintah dapat melakukan kebijakan uang ketat dan kebijakan uang longgar.
1.      Tight Money Policy, yaotu kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara :
a. Menaikan suku bunga
b. Menjual surat berharga
c. Menaikan cadangan kas
d. Membatasi pemberian kredit
2.      Easy Money Policy, yaitu kebijakan yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk menambah jumlah uang yang beredar dengan cara :
a. Menurunkan tungkat suku bunga
b. Membeli surat-surat berharga
c. Menurunkan cadangan Kas
d. Memberikan kredit longgar.
Macam-macam kebijakan moneter yaitu politik diskonto, politik pasar terbuka, kebijakan Cadangan Kas, kebijakan Sanering dan kebijakan Devaluasi Tertra Revolusi.

C.    Tujuan Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah yang beredar dan kredit yang pada akhirnya akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan:
1.       Kesempatan Kerja
Semakin besar gairah untuk berusaha, maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.

2.      Kestabilan harga
Apabila kestablian harga tercapai maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan.
3.      Neraca Pembayaran Internasional
Neraca pembayaran internasional yang seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan kebijakan-kebijakan moneter.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan moneter dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut meliputi:
1.       Indepensi Bank Sentral.
Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang bisa bersifat benar-benar independen tanpa campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, ada instrumen kebijakan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah, misalnya melalui kebijakan fiskal.
2.       Fokus terhadap sasaran.
Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran lain kadang-kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs. Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.
3.       Capacity to forecast inflation.
Bank Sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi inflasi secara akurat, sehingga dapat menetapkan target inflasi yang hendak dicapai.
4.       Pengawasan instrumen
Bank Sentral harus memiliki kemampuan untuk mengawasi instrumen-instrumen kebijakan moneter.
5.       Pelaksanaan secara konsisten dan transparan.
Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan semakin meningkat.

D.    Kerangka Operasi kebijakan Moneter.
Kerangka operasi kebijakan moneter terdiri dari: instrumen-instrumen moneter, sasaran operasional dan sasaran antara serta sasaran akhir. Penjelasan tentang kerangka operasi kebijakan dapat disimak pada uraian berikut:
1.      Instrumen-Instrumen Moneter
Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat atau media operasi moneter yang dapat digunakan oleh bank sentral dalam mempengaruhi sasaran operasional dan sasaran akhir yang telah ditetapkan (Warjiyo, 2005:14) dan (Ascarya, 2002:51). Instrumen-instrumen kebijakan moneter terdiri dari:
a)      Operasi Pasar Terbuka (OPT): operasi bank sentral di pasar keuangan dilakukan dengan cara menjual dan membeli (lelang) surat-surat berharga, misalnya Surat Berharga Indonesia (SBI).
b)      Tingkat Bunga Diskonto: fasilitas pinjaman jangka pendek dari bank sentral kepada bank-bank komersial dalam pengendalian likuiditasnya.
c)      Giro Wajib Minimum (Reserve requirement): giro wajib minimum yang harus dipelihara bank-bank komersial di bank sentral. Ketiga instrumen tersebut bersifat kuantitatif atau instrumen moneter kuantitatif
d)     Himbauan Moral (moral suation). Instrumen ini bersifat kualitatif karena hanya berupa himbauan yang sifatnya mengarahkan atau memberikan informasi makro untuk dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam manajemen aset dan kewajibannya.

2.      Sasaran Operasional (Operational Target)
Sasaran operasional atau sasaran segera yang dicapai dalam operasi moneter. Variabel sasaran operasional digunakan untuk mengarahkan sasaran antara. Penetapan sasaran operasional tergantung pada jalur mana yang diyakini efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Kriteria sasaran operasional antara lain:
a.       Dipilih dari variabel moneter yang memiliki hubungan yang stabil dengan sasaran.
b.      Dapat dikendalikan oleh bank sentral.
c.       Tersedia lebih segera dibanding sasaran antara, akurat dan tidak sering direvisi (Ascarya, 2002: 15).

3.      Sasaran Antara (Intermediate Target)
Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan moneter bersifat tidak langsung dan kompleks. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan praktisi bank sentral mendesain simple rule untuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara. Sasaran antara merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter, sasaran ini dipilih dari variabe-variabel yang memiliki keterkaitan stabil dengan inflasi, cakupannya luas, dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi, antara lain agregat moneter (M1dan M2), kredit perbankan dan nilai tukar (Bofinger, 2001:125).
4.      Sasaran Akhir (Final Target)
Tujuan atau sasaran akhir kebijakan moneter tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh undang-undang bank sentral suatu negara. Misalnya Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (stabilitas moneter).
Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter dalam mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu inflasi.
 
E.     Pemulihan Ekonomi Melalui Kebijakan Moneter di Indonesia
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha, dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah. Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju inflasi) dan kestabilan nilai tukar rupiah. Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999 sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank Sentral yang lama, yaitu UU No. 13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk memenuhi beberapa sasaran sekaligus (multiple objectives), yakni mendorong kegiatan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling bertolak belakang, terutama dalam jangka pendek.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat ini masih menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pengendalian jumlah uang beredar atau yang di kalangan akademisi dikenal sebagai quantity approach. Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang primer (base money) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang terkendali diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam jumlah yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan nilai tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama tahun 1998, menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas moneter. Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena dalam periode itu ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak menggunakannya untuk membeli valuta asing.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai memberikan hasil positif sejak triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah berangsur surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD cenderung menguat dan kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan sejak 14 Agustus 1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar. Di dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak pertengahan 1998 hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan dengan terkendalinya jumlah uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui mekanisme pasar pada harga pasar untuk mensterilisasi atau menyedot kembali ekspansi moneter yang berasal dari pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan bukan terutama itujukan untuk mengarahkan nilai tukar rupiah ke suatu tingkat tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai membahayakan posisi cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang berasal dari penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk mendukung pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong penurunan laju inflasi sejak awal triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada bulan Februari 1998, mencatat angka negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998. Deflasi tersebut kemudian berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode Maret – September 1999. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999 hanya mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998 yang mencapai 77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya hiperinflasi yang sempat mengancam selama paruh pertama 1998.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat rendah dan nilai tukar rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa puncak krisis telah memberikan ruang gerak bagi Bank Indonesia untuk memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong penurunan suku bunga domestik. Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar, pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga mencapai 11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang selama ini menjadi patokan (benchmark) bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58% pada September 1998 menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan dengan laju penurunan yang hampir sama.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang rentan terhadap krisis moneter adalah apabila Negara tersebut:
  1. Memiliki jumlah hutang luar negeri yang cukup besar
  2. Mengalami inflasi yang tidak terkontrol
  3. Defisit neraca pembayaran yang besar
  4. Kurs pertukaran mata uang yang tidak seimbang
  5. Tingkat suku bunga yang diatas kewajaran
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka dapat dipastikan Negara tersebut hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.

BAB III
KESIMPULAN

Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa moeneter (Bank Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar dan kredit, yang pada akhirnya akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)

Kebijakan moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang diharapkan dapat membuka peluang Kesempatan Kerja, Kestabilan harga, Neraca Pembayaran Internasional.

Selasa, 14 Mei 2013

MAKALAH INFLASI







BAB 1
PENDAHULUAN 



A. Latar Belakang 

  Bila ditinjau dalam jangka panjang, sejak kemerdekaan, upaya Pemerintah Indonesia menjaga kestabilan mata uang telah menuju ke arah yang lebih baik. Prof. M. Sadli, 2005, mengungkapkan bahwa inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan neter sama sekali tidak prudent (kalau perlu uang, cetak saja). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5 persen setahun.




BAB 2 

PEMBAHASAN 

A. Pengertian Inflasi 

  Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain, Boediono (1982: 155). Dalam praktek, inflasi dapat diamati dengan mengamati gerak dari indek harga. Tetapi di sini harus diperhitungkan ada tidaknya suppressed inflation (inflasi yang ditutupi). 

            Akibat inflasi secara umum adalah menurunnya daya beli masyarakat karena secara riel tingkat pendapatannya juga menurun. Jadi, misalkan besarnya inflasi pada tahun yang bersangkutan naik sebesar 5% sementara pendapatan tetap, maka itu berarti secara riel pendapatan mengalami penurunan sebesar 5% yang akibatnya relatif akan menurunkan daya beli sebesar 5% juga, Putong (2002: 254). 


B. Jenis Inflasi 

           1. Berdasarkan sifatnya. Berdasarkan sifatnya inflasi dibagi menjadi 4 kategori utama, Putong (2002:   
                260), yaitu:

                     a. Inflasi merayap/rendah (creeping Inflation), yaitu inflasi yang besarnya kurang dari 10% 
                         pertahun.

                     b. Inflasi menengah (galloping inflation) besarnya antara 10-30% pertahun.

                      c. Inflasi berat (high inflation), yaitu inflasi yang besarnya antara 30-100% pertahun.

                      d. Inflasi sangat tinggi (hyper inflation), yaitu inflasi yang ditandai oleh naiknya harga secara     
                      drastis hingga mencapai 4 digit (di atas 100%).

2. Berdasarkan sebabnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong (2002: 260), yaitu: 
         a. Demand Pull Inflation. Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi di satu pihak, di pihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan kerja penuh (full employment), akibatnya adalah sesuai dengan hukum permintaan, bila permintaan banyak sementara penawaran tetap, maka harga akan naik.

        b. Cost Push Inflation. Inflasi ini disebabkan turunnya produksi karena naiknya biaya produksi (naiknya biaya produksi dapat terjadi karena tidak efisiennya perusahaan, nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan jatuh / menurun, kenaikan harga bahan baku industri, adanya tuntutan kenaikan upah dari serikat buruh yang kuat dan sebagainya).

          Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Sebaliknya dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (kelesuan usaha). Perbedaan yang laindari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation kita melihat kenaikan harga barang-barang akhir (output) mengikuti kenaikan harga barang-barang input/faktor produksi.

           Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi di berbagai negara di dunia adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain, Boediono (1982: 157-158).



3. Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi 2, Putong (2002: 260), yaitu:

              a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya defisit 
                 dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara.

              b. Inflasi yang berasal dari luar negeri, karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu   
                  negara mengalami inflasi yang tinggi, harga-harga barang dan juga ongkos produksi relatif mahal,    
                  bila terpaksa negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga jualnya di dalam negeri 
                   tentu saja bertambah mahal.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

          adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain.

     Inflasi digolongkan menurut beberapa cara, dapat menurut laju inflasi (ringan, sedang, berat, hiper inflasi), sebab awalnya (demand atau cost inflation), asalnya (domestic atau imported inflation).

     Ada 3 teori utama mengenai inflasi. Teori Kuantitas menekankan bahwa penyebab utama inflasi adalah pertambanahn jumlah uang beredar dan psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa mendatang. Teori Keynes: inflasi terjadi karenan masyarakat hidup diluar batas kemampuan sekonomisnya.. Teori strukturalis: sebab inflasi adalah dari kekakuan struktur ekonomi.

       Biaya Inflasi. Biaya Inflasi yang diharapkan muncul adalah: Shoe leather cost, Menu cost, Complaint and opportunity loss cost, Biaya perubahan peraturan/undang-undang pajak, dan Biaya ketidaknyamanan hidup. Biaya inflasi yang tidak diharapkan: Redistribusi pendapatan antara debitor dengan kreditor dan Penurunan nilai uang pensiunan.

      Dampak inflasi antara lain engara rentan timbul kekacauan, masyarakat menarik tabungan, bank kekurangan dana dam bangkrut, harga semakin naik, distribusi barang tidak adil, produsen bangkrut, dampak positifnya adalah masyarakats emakinselektif memilih barang, menumbuhkan industri kecil, dan pengangguran berkurang karena banyak wirausahawan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi inflasi adalah yang berkaitan dengan Kebijaksanaan Moneter, Kebijakan Fiskal, Kebijakan yang Berkaitan dengan Output, Kebijaksanaan Penetuan Harga dan Indexing, Sanering, dan Devaluasi.

A. Saran

Dengan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.



 SUMBER :
Atmaja, Adwin. 1999. INFLASI DI INDONESIA: SUMBER-SUMBER PENYEBAB DAN PENGENDALIANNYA, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 1, No. 1, Mei 1999, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra.